Selasa, 23 Februari 2010

Kebobrokan Bangsa – Guru Menjadi Biangnya

Masih ingat tentang “kantin kejujuran”? Sebuah gerakan untuk memberantas korupsi yang diintrodusir pihak luar ke dalam lingkungan sekolah. Seremoni pembukaannya menunjukkan hal itu. Maka datanglah tamu-tamu dari lembaga pembela keadilan. Beberapa memberikan pidato-pidato bombastis. Semuanya yakin dari kantin itu kelak akan muncul generasi anti korupsi di Indonesia. Sesudah seremoni, tamu-tamu itu pulang.

Esok harinya acara itu akan tampil di media cetak local. Semuanya senang. Tamu-tamu itu senyum-senyum bangga. Bagaimana kelanjutannya diserahkan guru dan sekolah. Jika kantin itu gagal, jika kelak tidak lahir generasi anti korupsi itu, sekolahlah yang salah. Sekolahlah yang bertanggung jawab.
Kasus di atas adalah cermin bagaimana masyarakat memandang fungsi guru dan sekolah kita. Guru adalah sumber segala persoalan bukan hanya dalam dunia pendidikan, melainkan juga dalam masyarakat. Kehancuran nilai-nilai moral, meningkatnya perilaku kekerasan, banyakya pengangguran korupsi dll adalah cermin kegagalan pendidikan dengan guru sebagai tokoh utamanya. Masyarakat gagal mengenyam perubahan dan kemajuan karena guru gagal melaksanakan fungsinya dalam masyarakat.
Tentu saja pandangan di atas tidak benar . Kita tahu bahwa dunia pendidikan memiliki peranan besar dalam mempersiapkan siswa menjadi warga masyarakat yang aktif dan bertanggung jawab. Namun hal-hal buruk, merusak dan menghancurkan yang terjadi di dalam masyarakat tidak bisa dilimpahkan begitu saja pada para guru dan sekolah. Karena guru bukan penjaga moral satu-satunya dalam masyarakat.
Inilah gambaran masyarakat yang sedang goyah, lelah dan ingin mencari jalan pintas. Masyarakat yang tidak mampu memahami perbedaan antara pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan dan memahami di mana akar kebobrokan terjadi. Maju mundur, berputar-putar dan akhirnya mendudukkan guru sebagai biangnya adalah cara yang paling mudah, murah dan nyaman.

Tidak ada komentar: